Posted on: October 10, 2017 Posted by: Faik Comments: 0

Jangan salahkan anak-anak jika di sekolah melakukan bullying terhadap teman-temannya. Saat anak tidak prestatif, nilai yang menurun, atau tidak disiplin ke sekolah. Sering orang tua menyudutkan psikologi anak atau anak secara alami mengalami bullying dari orang terdekatnya sendiri.

Jika hal tersebut terus menerus dilakukan, maka anak akan menganggap bahwa tekanan-tekanan psikologi orang tua terhadapnya, merupakan hal yang wajar. Dampaknya, anak-anak akan melakukan hal yang sama kepada pihak lain, atau melampiaskan kegundahannya dirumah pada pihak lain yang menyebabkan terjadinya bullying.

Menghentikan bullying bukan hal mudah. Butuh proses panjang dan menyeluruh serta peran serta seluruh elemen. Jika mengandalkan sekolah untuk mencegah terjadinya bullying, maka hal tersebut mustahil dapat tercapai. Apalagi, sebagian besar waktu dan interaksi seorang anak, justru dilakukan dilingkungan rumah. Apalagi bullying itu hadir karena karakter dan sikap yang terbentuk pada diri seorang anak.

Lalu, bagaimana meminimalisir bullying terhadap anak dan remaja? Proses tersebut perlu dimulai dari pendidikan parenting terhadap orang tua. Bahkan pendidikan tersebut perlu diberikan pada seluruh calon ayah dan calon ibu dan menjadi salah satu nasehat jelang pernikahan berlangsung. Dengan meningkatnya pengetahuan orangtua dan atau calon orang tua, maka bullying yang terjadi pada dunia pendidikan maupun lingkungan sosial, dapat ditekan. Anak-anak memiliki bekal pemahaman yang cukup dari orang tuanya bagaimana berprilaku dan bersosialisasi yang baik dan normal, sehingga terhindar dari prilaku mem-bullying. Kemudian, sekolah memberikan penguatan hal tersebut sehingga anak dan remaja memiliki karakter anti bullying dimanapun berada dan menjadi jaringan sosial yang kokoh untuk mencegah terjadinya prilaku bullying tersebut.

Dengan semakin lenyapnya potensi bullying, maka kerja-kerja LPSK akan semakin mudah dan terciptanya lingkungan yang aman dan nyaman. Lebih lanjut tugas LPSK untuk melindungi dan ‘normalisasi’ psikologi para saksi dan korban bullying, tidak lagi perlu dilakukan isolasi khusus. Hal ini karena telah tercipta lingkungan-lingkungan sosial yang memiliki kesadaran anti bullying yang tinggi.

Menuju kondisi tersebut, LPSK perlu membentuk simpul-simpul sosial yang dibina secara khusus untuk menciptakan lingkungan anti bullying. Lingkungan tersebut akan menjadi sarana LPSK dalam melindungi saksi dan korban yang datang menjadi ‘pasiennya’. Simpul-simpul sosial tersebut dapat berupa sekolah-sekolah berpredikat anti bullying, atau RT/RW, atau komunitas-komunitas anak dan remaja yang memang di treatment khusus sehingga terbentuk karakter anti bullying. Bahkan lebih kecil lagi, LPSK memiliki data keluarga-keluarga yang menerapkan komunikasi yang sehat dan anti bullying, sehingga LPSK memiliki banyak pilihan-pilihan dalam menempatkan saksi atau korban bullying sesuai kebutuhan bahkan sesuai keinginan mereka.

Apakah ini hanya tanggung jawab LPSK, KPAI, Kemensos atau unit-unit pemerintah lainnya? tentu seluruh masyarakat dapat berpartisipasi dalam menciptakan simpul-simpul sosial ini. seorang kepala RT/RW dapat mengajak warganya untuk meningkatkan kesadaran pada prilaku-prilaku bullying dan merumuskan pencegahannya. Sehingga, dalam rentang waktu tertentu, maka akan terwujud keluarga-keluarga yang anti bullying dan akan mendukung terciptanya RT/RW yang anti bullying. Begitu juga pada komunitas-komunitas sosial untuk memahami prilaku bullying, menciptakan komunikasi yang baik, sehingga terwujud komunitas yang sehat dan anti bullying. Lebih lanjut, dengan terciptanya individu-individu anti bullying maka akan mendukung terwujudnya pencegahan massal bullying di masyarakat, atau minimal akan semakin banyak relawan-relawan anti bullying  yang berani melaporkan aksi-aksi bullying  yang disaksikan dilingkungannya kepada aparat penegak hukum dan atau lembaga/unit yang memiliki tugas dan fungsi terkait.

Berdasarkan data Kementerian Sosial sebagaimana diberitakan oleh media daring cnnindonesia.com (https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170722163858-277-229641/semakin-banyak-yang-melaporkan-kasus-bullying/), memang terjadi penurunan kasus pelanggaran terhadap anak. Pada tahun 2017 hingga periode Juni 2017, tercatat 976 kasus yang dilaporkan. Hal ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yakni tahun 2014 sebanyak 5.066 kasus, tahun 2015 sebanyak 4.309 kasus dan tahun 2016 mencapai 4.620 kasus. Bahkan catatan lebih mengejutkan disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dimana dalam rentang waktu tahun 2011 s.d. 2016 menemukan 23 ribu kasus kekerasan terhadap anak. Namun, khusus kasus bullying  hanya sebanyak 253 kasus dengan rincian 122 anak sebagai korban dan 131 anak sebagai pelaku.

Melihat data tersebut, maka paling penting yang perlu dilakukan adalah melindungi masa depan anak, baik mereka yang menjadi saksi, korban bahkan pelaku. Karena sejatinya anak-anak pelaku bullying juga merupakan korban dari pola pendidikan dan lingkungan sosial yang ada.

Solusi terbaik meminimalisir hal tersebut adalah dengan mewujudkan lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan komunitas yang anti bullying. Bahkan individu-individu dari masyarakat dapat menjadi agen-agen sosial yang dapat berperan menyosialisasikan, mencegah bahkan melaporkan aksi-aksi bullying yang terjadi.

Terbit : channelmuslim.com

Leave a Comment